Urusan jodoh memang membingungkan dan penuh misteri. Selama ini aku
pikir jodoh itu harus dicari, harus dikejar sampai dapat (kalau bisa
dengan cara apapun), ternyata Tuhan punya jawaban lain atas jodoh yang
tepat untukku.
Saat ini aku sudah menikah dengan satu orang putera
yang masih berusia tiga tahun. Pertama kali bertemu dengan suami lama
sekali, saat aku masih di bangku Sekolah Dasar. Bisa dibilang, aku dan
suami ini adalah musuh lama. Jujur ya, aku membencinya sejak masih duduk
di bangku SD. Bagaimana tidak, kelakuannya selalu bikin kesal. Dia
pernah memasukkan cicak ke dalam tas sekolahku, menarik rambutku atau
menyembunyikan buku PR milikku.
Namanya Bobi. Apapun yang dia
lakukan selalu membuat aku jengkel bahkan menangis. Boleh dibilang, aku
menganggapnya sebagai anak nakal dan musuhku. Aku malas bicara
dengannya, bahkan lewat di depannya. Hingga akhirnya kami berpisah saat
lulus SD.
Waktu SMA aku mulai pacaran, tapi ya cuma pacaran begitu saja, belum
terpikir untuk menikah atau jenjang serius yang lain. Sampai ketika aku
kuliah, aku ketemu lagi dengan Bobi. Dia yang pertama mengenaliku, kami
satu jurusan. Walaupun tahun demi tahun berlalu, aku masih menyimpan
rasa tidak suka padanya. Jika dia bertanya padaku, aku akan menjawab
dengan singkat. Apapun aku lakukan asal tidak dekat-dekat dengannya.
Tapi
apa mau dikata, kami satu jurusan, sering kuliah dengan jadwal yang
sama. Ah biar saja, begitu pikirku. Selama dia tidak menggangguku
seperti dulu, aku cuek saja dengan kehadirannya, aku tidak terlalu
peduli.
Singkat cerita, saat kuliah, aku mengincar kakak kelasku.
Dia adalah pria cerdas yang sangat mendekati tipe idealku. Anda pasti
mengerti tipe ideal, misalnya.. Aku nanti ingin menikah dengan pria yang
tinggi, suka memasak, mandiri dan sebagainya. Bisa dikatakan si pria
ini mendekati tipe suami idamanku.
Berbagai cara aku lakukan
untuk bisa dekat dengannya. Akhirnya kami dekat, sering ngobrol bareng,
dia juga sering mengajakku makan di luar. Tapi ya.. hanya begitu saja.
Dia tidak pernah mengajakku untuk serius berpacaran. Mungkin benar ya,
orang yang jatuh cinta logikanya padam. Aku terus saja berharap dan
menunggu agar si pria sempurna itu dibukakan pintu hatinya dan
menjadikan aku pasangannya. Seperti impianku selama ini.
Tahun
demi tahun berlalu hingga hari kelulusanku tiba. Tidak juga aku mendapat
sinyal si 'pria idealku' ini mengajakku ke arah serius. Aku seperti
digantung, tapi juga tidak rela melepaskannya. Tidak banyak pria yang
semenarik dan hampir sempurna seperti dia. Penah nih Bobi bertanya,
"Kamu nggak capek nungguin dia terus? Keburu tua tauk," Pertanyaan itu
memang menyebalkan dan lancang, tetapi seolah jadi palu yang menghantam
pikiranku.
Ternyata tidak selamanya apa yang aku impikan, bisa terwujud.
Mungkin saat itu aku benar-benar bodoh (kata orang, jatuh cinta itu
harus bodoh, kalau belum bodoh, belum jatuh cinta namanya). Entah apa
yang aku pikirkan hingga terus saja mengejar si pria yang aku anggap
sempurna itu. Padahal kalau dirasa-rasa, aku capek juga menunggu dia.
Akhirnya aku memasrahkan diri, jika dia jodohku, aku percaya akan
didekatkan, jika tidak, aku harap Tuhan memberi sedikit sinyal agar aku
bisa melepaskannya.
Seminggu kemudian, ibuku masuk rumah sakit.
Positif demam berdarah menurut dokter. Sudah jelas aku panik, apalagi
ibu tidak pernah masuk rumah sakit. Lima hari aku di rumah sakit,
menunggu ibu yang masih pucat dan berkali-kali melakukan tes pemeriksaan
darah. Ajaibnya, Bobi banyak menemaniku, karena dia juga mengenal ibu
semasa aku di SD dulu. Aku anggap itu sebagai bentuk perhatian teman
masa kecil tidak lebih.
Di depan ibu, aku dan Bobi bercakap-cakap
seperti teman lama (walaupun aku masih dongkol waktu itu). Dan aku
tidak percaya saat dia mengatakan "Gimana kalau kita nikah aja?" Aku dan
ibu tertawa, mengganggapnya bercanda agar ibu tidak memikirkan
sakitnya. Tapi ternyata dia tidak bercanda. Saat aku mengantarnya sampai
bagian depan RS, dia mengatakan bahwa waktu kecil dulu, dia naksir aku,
mungkin cinta monyet, begitu pengakuannya.
Semua hal yang
menyebalkan dia lakukan hanya untuk menarik perhatianku saja. Dia juga
bilang bahwa dia benar-benar jatuh cinta padaku saat kami bertemu ketika
kuliah. Tapi dia tahu sedang jatuh cinta dengan cowok lain, sehingga
dia tidak langsung mengatakannya.
Tidak tahu bagaimana perasaanku
waktu itu, senang, malu, kesal dan tidak tahu harus menjawab apa. Tapi
aku ingat sekali dia bilang begini, "Kalau ada pria yang benar-benar
serius, kenapa masih mengejar dia yang tidak peduli dengan kondisi kamu
saat ini?"
Kadang, hal yang menyakitkan itu bukan kebohongan,
tapi kejujuran. Dan itulah yang aku rasakan. Si pria sempurna itu bahkan
tidak menanyakan kabarku atau ibu, padahal dia tahu bahwa ibuku sudah
lima hari di Rumah Sakit.
Mungkin kejadian itu adalah jawaban atas doaku. Pelan-pelan aku
menetralkan perasaan, atau apalah namanya. Jujur, sangat sulit, ketika
seseorang yang benar-benar diharapkan menjadi pendamping hidup harus
rela dilepaskan dan dilupakan. Tapi kata-kata Bobi aku anggap benar,
jika saat ini dia yang aku anggap sempurna tidak peduli, bagaimana
nanti. Jika di dekatku ada pria yang peduli dengan hidupku, kenapa
mengejar yang tidak pasti?
Aku berpikir dan terus berpikir.
Sampai akhirnya aku sadar bahwa cinta itu memakai hati, tidak bisa
dipikir. Sedikit demi sedikit aku melihat bahwa Bobi bukanlah bocah
laki-laki nakal yang menyebalkan. Dia sudah menjadi pria muda yang baik,
sopan dan ramah. Aku menyesal kenapa tidak melihat hal ini sejak awal
kuliah (karena waktu itu mataku sedang buta oleh cinta).
Sedikit
demi sedikit aku mulai membuka hati untuk Bobi. Aku katakan padanya,
pelan-pelan saja dulu. Hingga akhirnya aku mantap bahwa dia adalah pria
yang tepat untuk menjadi pendamping hidup, menjadi orang yang aku
hormati dan kelak akan menjadi ayah yang baik. Setahun setelah ibu
dirawat di Rumah Sakit, aku meng-iya-kan ajakannya untuk menikah. Dan
inilah kami sekarang, keluarga kecil yang bahagia.
Di hari
pernikahan kami, banyak teman-teman SD yang kami undang. Mereka
kebanyakan mengatakan, "Ciye.. yang dulu musuhan sekarang jadi suami
istri.." atau "Yang rukun ya, jangan berantem melulu kayak dulu.."
Itulah misteri jodoh, siapa yang tahu. Tapi aku sudah tidak lagi
membenci Bobi, aku membangun cinta yang kuat, kami sama-sama ingin
berlayar dengan tenang, sehingga sebesar apapun badai yang datang, kami
tetap kuat.
Itulah ceritaku, maaf kalau sangat panjang, semoga
bisa bermanfaat untuk pembaca Vemale. Saranku hanya satu, jika saat ini
Anda masih galau karena urusan jodoh, buka mata dan hati Anda. Coba
lihat di sekitar Anda, kadang kita tidak melihat perhatian kecil yang
diberikan seseorang. Kadang jodoh kita bukanlah orang yang kita anggap
ideal atau sempurna, karena cinta sejati akan saling menyempurnakan.