LAPORAN
PENDAHULUAN
ST
Elevation Myocardial Infarction STEMI
A. Definisi Stemi
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan
kondisi yang terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat
dari oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya sehingga
mengakibatkan kematian sel miosit (serabut otot) jantung karena iskemia yang
berkepanjangan (Andini & Trihartanto, 2019). Secara garis besar STEMI
terjadi disebabkan oleh arteri koroner yang mengalami aterosklerotik atau
penyebab lain yang dapat membuat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen di miokard (Agustina et al., 2023).
Infark miokard akut (IMA) dengan elevasi segmen ST (ST
Elevasi Miokard Infark) merupakan indikator medis sebuah kejadian dari oklusi
(sumbatan) total pembuluh darah arteri koroner. Diagnosis STEMI dapat
ditegakkan apabila terdapat keluhan angina pektoris akut disertai dengan adanya
elevasi segmen ST yang persisten di dua sandapan yang bersebelahan pada hasil
rekaman EKG.
Infark miocard akut (IMA) merupakan gangguan aliran
darah ke jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di
pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah
kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di
sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat
sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan
mengalami infark (Black & Hawks, 2014).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua
kategori, yaitu STelevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark
miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium,
yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI
merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh
ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG (Black &
Hawks, 2014).
B.
TANDA DAN GEJALA
Tanda
dan gejala yang dirasakan pada pasien stemi (Black & Hawks, 2014) yakni :
1. Nyeri
a. Gejala
utama adalah nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terusmenerus tidak
mereda, biasanya dirasakan diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas.
b. Keparahan
nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak tertahankan lagi.
c. Nyeri
tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke bahu dan
terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
d. Nyeri
mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan emosional),
menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang dengan bantuan
istirahat atau nitrogliserin.
e. Nyeri
dapat menjalar ke arah rahang dan leher.
f. Nyeri
sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening
atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
g. Pasien
dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena neuropati
yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor.
2. Ekstremitas
yang teraba dingin, perspirasi, rasa cemas, dan gelisah akibat pelepasan
katekolamin.
3. Tekanan
darah dan denyut nadi pada mulanya meninggi sebagai akibat aktivasi system
saraf simpatik. Jika curah jantung berkurang, tekanan darah mungkin turun.
Bradikardia dapat disertai gangguan hantaran, khususnya pada kerusakan yang
mengenai dinding inferior ventrikel kiri.
4. Keletihan
dan rasa lemah akibat penurunan perfusi darah ke otot rangka.
5. Nausea
dan vomitus akibat stimulasi yang bersifat refleks pada pusat muntah oleh
serabut saraf nyeri atau akibat refleks vasovagal.
6. Sesak
napas dan bunyi krekels yang mencerminkan gagal jantung.
7. Suhu
tubuh yang rendah selama beberapa harisetelah serangan infark miokard akut
akibat respon inflamasi.
8. Distensi
vena jugularis yang mencerminkan disfungsi ventrikel kangan dan kongesti paru.
9. Bunyi
jantung S3 dan S4 yang mencerminkan disfungsi ventrikel.
C.
ETIOLOGI
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner
setelah terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian
besar kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum
terjadinya STEMI, antara lain aktivitas 4 fisik yang berlebihan, stress
emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor
resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak
dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah menurut Smeltzer & Bare
(2011) yakni :
1. Faktor
yang tidak dapat dirubah:
a. Usia
Walaupun
akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif, biasanya tidak
akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang kritis dan mulai
menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena
itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria
meningkat lima kali lipat.
b. Jenis
kelamin
Infark
miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika terdapat
diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause, insiden
penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih besar
jika dibandingkan dengan pria. Hal ini diperkirakan merupakan pengaruh dari
hormon estrogen.
c. Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap
aterosklerosis dari pada orang kulit putih.
d. Riwayat
keluarga
Riwayat
keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara, orang tua
yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan
timbulnya IMA.
2. Faktor
resiko yang dapat dirubah :
a. Hiperlipidemia
Merupakan peningkatan
kolesterol atau trigliserida serum di atas batas normal. Peningkatan kadar
kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri
koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat 5 terjadi bila kadarnya
melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya
resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan
faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah systole maupun diastole
memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko ischemic heart
disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa
perawatan, sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena IHD atau gagal
jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke.
c. Merokok
Merokok merupakan faktor
risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin merupakan penyebab
peningkatan insiden dan keparahan atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok
dalam jangka waktu yang lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200%. Berhenti
merokok dapat menurunkan risiko secara substansial.
d. Diabetes
mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan predisposisi
atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang
yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan risiko stroke
pada seseorang yang menderita diabetes mellitus.
e. Stres
Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang bersifat aterogenik
serta mempercepat terjadinya serangan.
D.
PATOFISIOLOGI
Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada
sel endotel yang bersentuhan langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel
endotel yang semula licin menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah
menempel dan masuk kelapisan dinding arteri. Penumpukan plaque yang semakin
banyak akan membuat lapisan pelindung arteri perlahan-lahan mulai menebal dan
jumlah sel otot bertambah. Setelah beberapa lama jaringan penghubung yang
menutupi daerah itu berubah menjadi jaringan sikatrik, yang mengurangi elastisitas
arteri. Semakin lama semakin banyak plaque yang terbentuk dan membuat lumen
arteri mengecil.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang
sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang
secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plaque
aterosklerosis mengalami fisura, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal
atau sistemik memicu trombogenesis sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner.
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik. Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin
dan serotonin) memicu aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas trombosit
juga akan memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi faktor VII dan X
sehingga menkonversi protombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.
Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi akan menyebabkan oklusi oleh trombus
sehinga menyebabkan aliran darah berhenti secara mendadak dan mengakibatkan
STEMI (Darliana, 2010) (Black & Hawk, 2005 & Alwi, 2006).
E.
PATHWAY
F.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan
penunjang untuk penderita STEMI (Smeltzer & Bare, 2011) :
1. Elektrokardiogram
EKG memberi informasi
mengenai elektrofisiologi jantung. Lokasi dan ukuran relative infark juga dapat
ditentukan dengan EKG (Smeltzer & Bare, 2011). Pemeriksaan EKG harus
dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Sebagian besar pasien
dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q
yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard non-Q. Jika obstruksi tidak bersifat total, obstruksi
bersifat sementara, atau ditemukan banyak.
2. Angiografi
coroner
Angiografi coroner adalah
pemeriksaan diagnostic invasif yang dilakukan untuk mengamati pembuluh darah
jantung dengan menggunakan teknologi pencitraan sinar-X. angiografi coroner
memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK.
3. Foto
Polos Dada Tujuan pemeriksaan adalah untuk menentukan diagnosis banding,
identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.
4. Pemeriksaan
Laboratorium ·
a. Creatinin
Kinase-MB (CK-MB) : meningkat setelah 2-4 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 12-20 jam dan kembali normal dalam 2-3 hari.
b. Ceratinin
Kinase (CK) : meningkat setelah 3-6 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 12-24 jam dan kembali normal dalam 3-5 hari
G.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
yang dibutuhkan pada pasien dengan Stemi (Smeltzer & Bare, 2011):
1. Pre
Hospital Tatalaksana pra-rumah sakit.
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung
adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan
komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada
STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar
terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi
pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana praRS pada pasien yang
dicurigai STEMI:
· Pengenalan
gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
· Segera
memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
· Transportasi
pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan
perawat yang terlatih
· Terapi
REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada
pasien yang dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
2. Hospital
· Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja
jantung selama masa-masa awal infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh
karena itu, pasien dengan STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12
jam pertama. Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung
untuk untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi
tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini bermanfaat
secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak
terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan
dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua
atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus sudah dapat berjalan 185 m minimal
tiga kali sehari.
· Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi
segera setelah STEMI, pasien hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan
apapun pada 4-12 jam pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung
kolesterol ± 300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari
kalori total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat
tetapi rendah natrium.
· Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan
untuk menghilangkan nyeri seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat
diberikan jika pasien mengalami konstipasi c) Farmakoterapi
· Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan
dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan
interval 5 menit. Selain 12 mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung, dapat diberikan
NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan
edema paru. Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik.
H.
KOMPLIKASI
Komplikasi
yang muncul akibat dari STEMI menurut Smeltzer & Bare (2011) :
1. Disfungsi
ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel
kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan ketebalan baik pada segmen yang
infark maupun non infark. Proses ini dinamakan remodeling ventricular. Secara
akut, hal ini terjadi karena ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang
normal, dan kehilangan jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi
berhubungan dengan ukuran dan lokasi infark
2. Gagal
pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai
korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal
(10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi
basah di paru dan bunyi jantung 8 S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen
dijumpai kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah
STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal. Mekanisme yang berperan dalam
aritmia karena infark meliputi ketidakseimbangan sistem saraf otonom,
ketidakseimbangan elektrolit, iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona
iskemik.
4. Gagal
jantung kongestif
Hal ini terjadi karena
kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi ventrikel kiri atau
gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi
ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.
5. Syok
kardiogenik
Diakibatkan oleh
disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang massif, biasanya
mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan akibat perubahan
hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan manifestasi seperti
penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner, peningkatan kongesti
paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin
menekan fungsi miokardium.
6. Edema
paru akut
Edema paru adalah
timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga interstisial maupun dalam
alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut, di
mana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan
menimbulkan dispnea yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar
vascular paru menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak
mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan
cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat
masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.
7. Disfungsi
otot papilaris
Disfungsi iskemik atau
ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga
memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi
katup mengakibatkan aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri
dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti
pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
8. Defek
septum ventrikel
Nekrosis septum
interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum sehingga terjadi
defek septum ventrikel.
9. Rupture
jantung
Rupture dinding ventrikel
yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan infark selama fase pembuangan
jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah,
sehingga terjadi peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang relative
tidak elastic dapat berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah
menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini
akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
10. Aneurisma
ventrikel
Aneurisma ini biasanya
terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang
bagaikan balon pada setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian
curah sekuncup.
11. Tromboembolisme
Nekrosis endotel
ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar yang merupakan
predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus mural intrakardium dapat
terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
12. Perikarditis
Infark transmural dapat
membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak dan menjadi kasar, sehingga
merangsang permukaan pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.
I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN STEMI
1.
Pengkajian
a. Identitas pasien
Berisikan
nama lengkap pasien, usia pasien, jenis kelamin pasien, suku/bangsa pasien,
agama pasien, pekerjaan pasien, pendidikan pasien, alamat pasien, dan diagnosa
medis.
b. Identitas penanggung jawab
Berisikan
nama lengkap penanggung jawab, usia penanggung jawab, jenis kelamin penanggung
jawab, suku/bangsa penanggung jawab, agama penanggung jawab, pekerjaan
penanggung jawab, pendidikan penanggung jawab, alamat
penanggung jawab, dan status hubungan penanggung jawab dengan pasien.
c. Riwayat penyakit
1. Riwayat
Sebelum Sakit
1) Penyakit
berat yang penah diderita : Pada umumnya pasien mengatakan keluhannya yang
diderita sebelumnya dan gejalanya hampir sama dengan yang dirasakan sekarang.
2) Obat-obat
yang biasa dikonsumsi : Pada umumnya jika pasien pernah dirawat dengan gejala
serupa akan diberikan obat-obatan untuk sesak, batuk atau lainnya. Atau dapat
berisikan obat-obatan yang dikonsumsi beberapa hari terakhir.
3) Kebiasaan
berobat : Berisikan kebiasaan pasien untuk berobat baik di klinik, puskesmas
atau rumah sakit
4) Alergi
: Berisikan alergi yang dimiliki pasien baik obat-obatan ataupun makanan yang
memungkinkan nantinya dapat memperburuk keadaan pasien
5) Kebiasaan
merokok/alkohol : Berisikan riwayat pasien apakah pasien merupakan perokok
aktif/pasif atau mengonsumsi alkohol, dan jika pasien merupakan perokok aktif
berapa jumlah rokok yang dapat dihabiskan dalam sehari, lalu sejak kapan
menjadi perokok/ mengonsumsi alkohol. Apakah saat sakit ini pasien tetap
meroko, mengurang, atau berhenti.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Keluhan
utama : Umumnya keluhan yang dirasakan pasien adalah sesak nafas, susah nafas,
atau dada terasa berat.
2) Riwayat
keluhan utama : Berapa lama pasien mengalami keluhan tersebut.
3) Upaya
yang telah dilakukan : Berisakan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pasien
secara mandiri atau keluarga untuk mengurangi keluhan yang dirasakan, bentuk
upaya yang dilakukan dan jika upaya yang dilakukan bersifat tindakan medis
apakah tidakan tersebut dilakukan oleh tenaga professional.
4) Terapi/operasi
yang pernah dilakukan : Berisikan terapi seperti medis atau nonmedis dan juga
tindakan operasi yang mungkin pernah dilakukan.
3. Riwatar
Kesehatan Keluarga
Berisikan
riwayat kesehatan keluarga seperti orang tua, saudara, dan lainnya apakah
terdapat keluarga yang memiliki keluhan, riwayat kesehatan, atau kasus yang
sama dengan pasien saat ini.
Genogram
: Berisikan gambaran genogram keluarga pasien beserta keterangannya pada
3 generasi.
4. Riwayat
Kesehatan Lingkungan
Berisikan
keadaan lingkungan disekitar pasien baik rumah, tempat pekerjaa, kamar, dan
lain-lain. Apakah terdapat keadaan lingkungan yang menjadi faktor pencetus,
faktor pemberat keadaan pasien saat ini.
5. Riwayat
Kesehatan Lainnya:
Berisikan
riwayat kesehatan pasien lainnya seperti pasien pernah mengalami masalah
kesehatan lain yang mungkin dapat berkaitan dengan masalah saat atau mungkin
tidak berkaitan atau tidak berpengaruh dengan masalah yang dialami/yang
dirasakan pasien saat ini. Contoh pasien memili riwayat penyakit diabete,
jantung, typus, atau lainnya. Dan juga ditanyakan apakah pasien menggunakan
alat bantu kesehatan seperti kacamata, gigi palsu, alat bantu pendengaran, atau
lainnya.
d. Observasi dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan
umum : Berisikan keadaan umum pasien saat masuk rumah sakit atau saat berada
diruangan rawat inap. Dengan alat pengukuran Glasgow Coma Scale (GCS) yang
meliputi mata, kesadaran, dan verbal. Keadaan umum juga berisikan keadaan
secara umum seperti apakah pasien coma, apatis, composmmetis, somnolent, spoor,
atau gelisah.
2. Tanda-tanda
vital, TB dan BB: Berisikan hasil pemeriksaan observasi tanda-tanda vital
seperti berapa tekanan darah (TD) dalam mmHg, nadi (N) dalam kali/menit, suhu
(S) dalam derajat celcius, respirator rate (RR) kali/menit, berat badan (BB)
dalam Kilogram (Kg), dan tinggi badan (TB) dalam centimeter (Cm).
3. Body
Systems:
1) Pernapasan
(B1: Breathing)
Berisikan keadaan umum
organ pernafasan yaitu hidung apakah terdapat sumbatan, perlukaan atau
lainnya yang dapat menganggu jalan nafas pasien. Kondisi pernafasan
pasien apakah nyeri, dyspnea (sesak nafas), orthopnea (sulit nafas saat
tidur), cyanosis (kebiru-biruan pada kulit), batuk darah, nafas dangkal, apakah
ada retraksi dada, apakah ada sputum, apakah terdapat tracheostomy, atau apakah
pasien menggunakan respirator (alat bantu nafas). Lalu apakah pasien memiliki
sura nafas tambahan seperti wheezing, ronchi, rales, crackles dan lokasinya
berada dimana.
Inspeksi bagian dada
apakah simetris, apakah ada perlukaan, dan keadaan lainnya disekitar dada.
2) Cardiovaskuler
(B2: Bleeding)
Berisikan keluhan-keluhan
yang dirasakan pasien terutama yang berkaitan dengan blleding seperti
nyeri dada, pusing, kram kaki, palpitasi lpitasi (berdegup kencang), clubbing
(berdegup kencang), clubbing finger (kelainan pada kuku), keadaan pada suara
jantung apakah normal atau apakah terdapat kelainan, apakah terdapat edema
disekitar lokasi jantung, palpebral, anasarka, ekstremitas atas, ekstemitas
bawah, ascites, tidak ada, atau lainnya.
3) Persyarafan
(B3: Brain) Berisi keadaan pasien saat ini Berisi keadaan pasien saat ini
keadaan secara umum seperti apakah pasien coma, apatis, composmmetis,
somnolent, spoor, atau gelisah. Bagaimana hasil Glasgow Coma Scale (GCS)
yang meliputi mata, kesadaran, dan verbal. Lakukan inspeksi dan palpasi
di area kepala dan wajah, bagaiman keadaan mata, konjungtiva, pupil, leher,
reflek sensori (pendengaran, penciuman, pengecapan, penglihatan, dan peraba).
4)
Perkemihan-Eliminasi Uri (B4 si Uri (B4:
Bladd : Bladder) Berisikan data produksi kan data produksi output cairan dalam
mililiter (ml), berapa frekuensinya, keadaan warna, bau. Apakah urin oliurgi,
poliurgi, dysuri, hematuri, nocturi, apakah pasien merasa nyeri saat
kencing, apakah pasien menggunakan, kateter, apakah urin keluar hanya menetes,
apakah saat kencing terasa panas, apakah inkotinen, sering, retensim cystotomi,
atau tidak ada masalah.
5) Pencernaan-Eliminasi
Alvi (B5: Bowel) Berisi keadaan organ pencernaan mulai dari mulut, tenggorokan,
bagian abdomen, dan rectum. Apakah pasien mengalami masalah pencernaan seperti
diare, konstipasi, feses darah, tidak terasa, melena, wasir, apakah pasien
menggunakan colostomi, menggunakan pencahar, penggunaan alat bantu, atau
keadaan sulit BAB. konsistensi dan frekuensi BAB, dan apakah terdapat diet
khusus sesuai anjuran dokter.
4. Tulang
Otot Integumen (B6: Bone)
Berisi keadaan tulang,
otot, dan kulit pasien secara umum. Kemampuan pergerakan pergerakan
sendi apakah bebas, terbatas, apakah ada parese, paralise lainnya. Keadaan
ekstermitas atas dan bawah (kelainan, peradangan, fraktur, perlukaan, dan lokasi),
keadaan tulang belakang, keadaan kulit (warna, akral, dan turgol).
5. Sistem
Endokrin
Berisikan terapi hormon
yang mungkin pernah dilakukan pasien sebelumnya atau sedang dilakukan, dan
riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik.
6. Sistem
Reproduksi
Berisikan bentuk alat
reproduksi, keadaan. Dan pada pasien perempuan ditambah data mengenai siklus
haid, dan payudara.
7. Pola
Aktivitas : di rumah dan Dirumah sakit
Berisikan perbandingan
pola aktivitas pasien saat dirumah dengan di rumah sakit meliputi pola makan,
minum, dan kebersihan diri. Baik frekuensi atau kegiatan dilakukan secara
mandiri, bantuan sebagian, dan bantuan total.
8. Istirahat
dan aktivitas:
Pola istirahat dan
aktivitas keseharian pasien saat pasien dirumah dengan dirumah sakit baik
frekuensi lama/durasi, masalah, dan tingkat ketergantungan.
e. Psikososial Spritual
Meliputi
keadaan sosial interksi pasien, dukungan keluarga, dukungan teman/kelompok,
reaksi saat interaksi, dan konfrik yang mungkin muncul. Bentuk spiritual
seperti konsep ketuhanan, sumber harapan, ritual/ibadah yang dilakukan, sarana
spiritual yang diraharapkan saat ini, adakah upaya kesehatan yang bertentangan
dengan keyakinan dalam beragama, keyakinan ketuhanan, keyakinan kesembuhan, dan
presepsi mengenai penyakit.
f. Pemeriksaan penunjang
Berisikan
pemeriksaan penunjang dalam penegakan diagnosis seperti Laboratorium (uji lab
darah lengkap atau sputum), tindakan rontogen (X-Ray, USG, CT-Scan).
g. Terapi
Berisikan
daftar terapi pemberian obat dan tindakan yang akan diberikan kepada
pasien sesuai anjuran dokter setelah hasil pengkajian.
2. DIAGNOSA
a. Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
b. Nyeri
akut berhubungan dengan iskemia dan infark miokard
c. Penurunan
curah jantung berhubungan dengan irama jantung strokevolume, preload dan
afterload, kontraksi jantung.
d. Intoleran
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
3. INTERVENSI
KEPERAWATAN
DAFTAR
PUSTAKA
Agustina,
D., Septiawan, T., Masnina, R., Diana, E. R., & Riyadi, A. (2023).
Efektivitas Terapi Oksigen Terhadap Penyelamatan Miokard Pada Pasien Infark
Miokard Dengan Elevasi St: Literatur Review. 15(2015), 287–292.
Amalia,
R. (2021). Asuhan keperawatan CVCU T. S dengan diagnosa stemi anterior
ekstensif. Keperawatan, 3(2), 6.
Anas
Muh, Made, P. I., Kedek, S. I., Kusman, & Diartama, A. (2022). Survei
Kejadian Komplikasi pada Pasien dengan Tindakan Percutaneous Coronary
Intervention. Nautical, ISSN: 2829-7466, 1(9), 1033–1041.
Andini,
maulida sekar, & Trihartanto, m. ali. (2019). Penegakan Diagnosis Dan
Pengobatan Optimal Kasus Stemi Anterior Dan Gagal Jantung. Ums. Publikasi,
1297–1314.
Berliani,
I. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Tn. H Dengan Diagnosa Medis Infark Miokard
Akut (STEMI Anterior) Di Ruang Melati Rsud Bangil Pasuruan.
Damanik,
C., Hardiansyah, K., & Njau, S. (2019). Pengalaman Perawat Dalam Melakukan
Manajemen Nyeri Pada Pasien Sindrom Koroner Akut Di Ruang Iccu. Jurnal Medika :
Karya Ilmiah Kesehatan, 4(1), 16–20. https://doi.org/10.35728/jmkik.v4i1.72
Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. (2021). Profil Kesehatan Jawa Tengah 2021.
Idris,
D., & Prawati, D. (2022). Kenyamanan Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien
Infrak Miokard Akut. Jurnal Keperawatan, 14, 589–596.